Panduan Hukum: Difabel Berhadapan dengan Kasus Pemasungan #1
Dasar hukum penganiayaan diatur dalam Pasal 351 sampai dengan Pasal 358 Bab XX Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan segala macam bentuk penganiayaan, baik berupa penganiayaan ringan, penganiayaan berat, penganiayaan biasa atau penganiayaan berencana. Namun KUHP tidak memberikan apa yang dimaksud dengan penganiayaan, selama ini pengertian tentang penganiayaan selalu didasarkan pada yurisprudensi[1], bahwa yang dimaksud dengan Penganiayaan adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat dan perasaan tidak enak pada orang lain.
Pasal 351 ayat 1 :
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah
Pasal 351 ayat 2 :
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
Pasal 351 ayat 3 :
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun
Pasal 351 ayat 4 :
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
Pasal 351 ayat 5 :
Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Penjelasan sederhana dari pasal tentang penganiayaan ini adalah siapa saja yang melakukan penganiayaan baik dengan cara memukul dengan atau tanpa menggunakan senjata, menginjak, menendang dan mengakibatkan orang lain luka-luka, baik luka ringan, luka berat atau bahkan mengakibatkan kematian maka orang tersebut bisa dianggap sebagai pelaku penganiayaan
Lalu bagaimana dengan pemasungan?
Jika mengacu pada aturan hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maka istilah pemasungan tidaklah ditemukan. Namun perbuatan yang mencerminkan pemasungan diatur dalam beberapa peraturan seperti Pasal 333 KUHP. Sebelum membahas dasar hukum yang mengatur tentang perbuatan pemasungan. Akan lebih baik jika kita membahas apa yang dimaksud dengan pemasungan.
Pemasungan berasal dari kata pasung, yang dimaksud dengan pasung adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki, tangan atau leher. Sedangkan memasung adalah membelenggu seseorang dengan pasung atau memasukkan seorang ke dalam kurungan atau membatasi, menghambat ruang gerak[2].
Praktiknya, pemasungan dilakukan terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa, gangguan mental dengan atan tanpa mengikat kaki dengan rantai dan memasukkan seseorang tersebut ke dalam suatu kurungan dan tidak diberikan bantuan medis atau bantuan psikis.
Jika mengacu pada Pasal 42 Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang mengatur bahwa :
Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”
Oleh karenanya, orang yang mengalami gangguan jiwa, gangguan mental adalah menjadi tanggung jawab negara untuk merawat, mendidik, melatih dan memberikan bantuan khusus atas biaya negara. Makanya, jika ada teman atau saudara yang mengalami hal serupa, haruslah diberikan perawatan dengan tujuan memulihkan jiwa dan mentalnya, agar orang yang mengalami gangguan mental dan jiwa tersebut bisa hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya.
Yang harus dipahami juga adalah bahwa orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, gangguan mental memiliki hak-hak yang harus dilindungi oleh negara dan tidak boleh dilanggar oleh siapapun, termasuk oleh saudara, orangtua, atau orang lain. Sebagian hak-hak tersebut diatur dalam pasal 148 ayat (1) dan Pasal 149 Undang-Undang RI No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan yang berbunyi:
Pasal 148 ayat (1) :
Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara
Pasal 149 :
Penderita gangguan jiwa yang terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan/atau orang lain, dan/atau mengganggu ketertiban dan/atau keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan
Oleh karenanya apapun alasan yang digunakan untuk melakukan pemasungan tidaklah dibenarkan. Meskipun pemasungan itu seringkali dilakukan oleh keluarga terdekat dari orang yang mengalami gangguan jiwa dan gangguan mental tersebut. Pasal 28G ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD 1945) menjamin bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Jadi, negara haruslah memberikan pemahaman kepada warga negara bahwa perbuatan pemasungan tersebut adalah bentuk lain dari perampasan hak hidup dan penyiksaan.
Lalu apakah orang yang melakukan pemasungan dapat dikenakan hukuman atas pemasungan tersebut ?
Menurut penulis, orang yang melakukan pemasungan dapat dikenakan hukuman atas pemasungan tersebut sebagaimana aturan hukum dalam Pasal 333 KUHP yang menjelaskan bahwa :
- Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang, atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
- Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
- Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
- Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan.
Akan tetapi, salah satu alasan yang sering disampaikan ketika pemasungan itu dilakukan adalah kalau tidak dipasung orang yang mengalami gangguan jiwa, gangguan mental tersebut akan melakukan tindakan yang berbahaya baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain, oleh karenanya terdapat beberapa keluarga yang memasung saudaranya agar tidak membahayakan dirinya atau orang lain. Oleh karenanya penting bagi kita semua untuk memahami pasal 491 butir 1 KUHP yang menjelaskan bahwa :
“Diancam dengan pidana denda paling banyak tujuh ratus lima puluh rupiah barang siapa diwajibkan menjaga orang gila yang berbahaya bagi dirinya sendiri maupun orang lain, membiarkan orang itu berkeliaran tanpa dijaga.”
Pesan yang disampaikan dalam pasal 491 butir 1 ini adalah agar siapapun mau menjaga orang-orang yang mengalami gangguan jiwa, gangguan mental tanpa harus dipasung.
[1] Yurisprudensi adalah putusan hakim yang berisikan suatu pertimbangan pertimbangan hukum sendiri yang di kemudian hari pertimbangan pertimbangan dalam putusan tersebut dijadikan dasar oleh hakim yang lain (sumber : Ahmad kamil, kaidah kaidah hukum yurisprudensi Jakarta, Kencana, 2008 Hal 9)
[2] http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php
Oleh: Sarli Zulhendra, S.H, pengacara publik tinggal di Yogyakarta