Lompat ke isi utama

Penyandang Disabilitas Juga Berpotensi dalam Bidang Pendidikan

Sampai saat ini perhatian pemerintah kepada penyandang disabilitas khususnya dalam pendidikan masih sangat minim, padahal kenyataan telah membuktikan bahwa banyak penyandang disabilitasberprestasi dan mampu menyelesaikan sampai pendidikan tinggi. Jika dahulu penyandang disabilitas hanya dapat sekolah di ekolah Luar Biasa (SLB) tapi sekarang hal tersebut tidak berlaku lagi. Banyak contoh yang membuktikan bahwa penyandang disabilias mampu meraih gelar sarjana baik S1 atau S2 lulusan dalam dan luar negeri. Namun sayangnya keberhasilan kaum penyandang disabilitas tersebut belum mendapakatkan perhatian dari pemerintah.

Salah satu perhatian yang diharapkan penyandang disabilitas adalah penyediaan fasilitas pendidikan yang aksesibel. Fasilitas yang diharapkan seperti gedung yang aksesibel sehingga pemakai kursi roda tidak kesulitan. Kemudian penyediaan buku-buku pendidikan dengan tulisan braille yang pasti akan memudahkan penyandang difabel netra dalam belajar. Pengadaan tenaga pengajar khusus untuk penyandang disabilitas anak berkebutuhan khusus seharusnya menjadi prioritas penyelenggara pendidikan, dalam hal ini adalah pemerintah. Belum lama ini ada seorang penyandang disabilitas berinisial (I), berasal dari KalimantanTengah yang berhasil diterima di program S2 Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Kesehariannya (I) beraktifitas menggunakan kursi roda karena menderita polio sejak lahir. Difabel (I) mengeluhkan fasilitas yang dimiliki gedung kuliah UGM tersebut. Fasilitas yang dikeluhkan tersebut adalah gedung kuliah yadang tidak aksesibel sehingga menyulitkan pemakai kursi roda dalam mengikut perkuliahan. Di sisi lain, UGM adalah milik pemerintah dan bukan perguruan tinggi swasta.

Hak Pendidikan adalah Hak Semua Warga Negara

Sebetulnya UGM hanyalah salah satu contoh perguruan tinggi yang gedungnya tidak aksesibel bagi penyandang disabilitas. Kontributor Solider menemukan bahwa hampir semua perguruan tinggi di Yogyakarta gedungnya memang belum aksesibel misalnya Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Pembangunan Nasional Veteran (UPN Veteran), Institut Seni Indonesia (ISI), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dan masih banyak lagi. Kondisi ini tentunya sangat disayangkan karena Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota inklusi tetapi kurang peduli kepada pendidikan kaum penyandang disabilitas.

Kondisi berbeda dijumpai pada pendidikan luar negeri bagi penyandang disabilitas khususnya di Amerika Serikat. Risna Utami, penyandang disabilitas berasal dari Wonosari Gunung Kidul bercerita kepada kontributor solider seputar pengalamannya menempuh pendidikan di Amerika Serikat. Dalam beraktifitas Risna juga lebih banyak menggunakan kursi roda dari pada kruk. Menurut Risna, Amerika Serikat sudah memberikan perhatian kepada mahasiswa penyandang disabilitas jauh lebih besar baik dari pemerintah atau dosen. “Ketika pertama kali mengetahui bahwa ada seorang mahasiswa yang memakai kursi roda maka para dosen segera menghampiri dan menanyakan apa yang harus dilakukan sehingga mahasiswa tersebut dapat mengikuti kuliahnya dengan nyaman,” ujar Risna. Penyandang disabilitas mendapatkan perhatian sehingga akan mempunyai motivasi tersendiri dalam mengikuti kuliah.

Pemberian status suatu kota sebagai kota inklusi bisa menjadi titik tolak pemerintah dalam menghasilkan kebijakan publik yang inklusif terhadap difabel.  Hak pendidikan merupakan hak moral dan hak konstitusional bagi seluruh warga negara tanpa diskriminas. Difabel juga memiliki hak yang sama untuk memenuhi kebutuhan intelektualnya, yaitu mendapatkan pembelajaran. Pemberian kesempatan yang sama dan penyediaan fasilitas yang aksesibel adalah kebutuhan difabel untuk membuktikan bahwa penyandang disabilitas juga berprestasi.

The subscriber's email address.